Publiknews.id, Luwu – Kasus dugaan pungutan liar kembali mencuat, kali ini di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Belopa, Kabupaten Luwu. Menggunakan dalih infak untuk pembelian tanah, pihak sekolah diduga memungut biaya dari orang tua murid melalui rapat komite, yang kini menuai sorotan dan kecaman dari masyarakat. Kasus ini terungkap pada Sabtu, 21 September 2024.
Alasan yang digunakan adalah untuk membeli lahan tambahan seluas 10×20 meter, yang dianggap penting oleh pihak sekolah. Namun, banyak orang tua murid merasa dipaksa membayar sejumlah uang yang sudah ditetapkan, yaitu Rp 350 ribu per siswa, tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi keluarga. Rapat komite yang seharusnya menjadi tempat musyawarah justru berubah menjadi ajang pemaksaan terselubung.
Menurut salah satu sumber yang tidak ingin disebutkan namanya, pungutan ini diduga kuat merupakan instruksi dari oknum Kementerian Agama Luwu dan Kepala Madrasah, yang kemudian dilaksanakan melalui komite sekolah. Proses pungutan ini dilakukan secara terorganisir, melibatkan wali kelas yang bertugas mengumpulkan dana dari setiap siswa. Melalui pesan di WhatsApp, seorang orang tua murid mengungkapkan bahwa tekanan untuk membayar terasa sangat kuat, meskipun sekolah menyebut pungutan ini bersifat sukarela.
“Ada lahan 10×20 meter di sekolah yang ingin mereka beli dengan harga Rp 300 juta. Kami diundang rapat, dan diputuskan untuk meminta sumbangan dari orang tua murid,” ungkap sumber tersebut pada Kamis, 19 September 2024.
Meskipun pihak sekolah menggunakan istilah infak atau sumbangan sukarela, kenyataannya jumlah yang harus dibayar sudah ditetapkan, yaitu Rp 350 ribu per siswa. Dengan jumlah siswa sekitar 250 orang, total pungutan mencapai angka yang cukup besar, yang menimbulkan keresahan di kalangan orang tua.
Bahkan ketika sekolah menawarkan opsi pembayaran secara cicilan, banyak orang tua yang tetap merasa terbebani. Salah seorang orang tua murid membenarkan hal ini.
“Iya, memang sudah diputuskan dalam rapat bahwa setiap orang tua harus membayar Rp 350 ribu, tapi bisa dicicil sampai lunas. Tapi saya sendiri belum membayar, mungkin beberapa yang lain sudah,” jelas seorang orang tua murid yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Ia juga menambahkan bahwa meskipun ada opsi mencicil, besaran nominal yang ditetapkan tetap menjadi beban berat, terutama bagi keluarga dengan ekonomi terbatas.
Tindakan ini jelas melanggar Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang melarang pungutan di sekolah tanpa dasar hukum yang jelas. Pungutan berkedok infak ini juga memunculkan pertanyaan serius tentang transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana sekolah.
Menanggapi isu ini, tim media mencoba melakukan konfirmasi ke pihak sekolah. Namun, saat dikunjungi, kepala sekolah tidak berada di tempat, dan hanya pengurus serta Ketua Komite yang bersedia memberikan keterangan.
Ketua Komite menepis tuduhan tersebut dan menegaskan bahwa pihak sekolah tidak pernah memaksa orang tua murid untuk membayar. “Kami tidak pernah menekan orang tua siswa. Kami mengundang sekitar 800 orang tua untuk rapat, dan semuanya berjalan transparan. Jika ada yang tidak mampu membayar sekaligus, kami persilakan mencicil. Tidak ada unsur pungli, karena semuanya sesuai dengan regulasi, dan ada surat kesepakatan dari orang tua siswa,” tegas Ketua Komite.
Meski demikian, kontroversi terkait pungutan ini terus berkembang. Banyak pihak mendesak agar ada penyelidikan lebih lanjut untuk memastikan tidak ada pelanggaran dalam pengelolaan dana di sekolah tersebut.
Saat tim media mencoba meminta nomor telepon kepala sekolah, tidak ada pihak yang bersedia memberikannya.
Hingga berita ini diterbitkan, kepala sekolah dan oknum dari Kementerian Agama Luwu belum memberikan konfirmasi terkait dugaan pungli ini. Tim media akan terus berupaya melakukan konfirmasi dan klarifikasi guna memastikan keberimbangan pemberitaan selanjutnya.(Tim) Red)