Topik Opini, Publiknews.id – Wartawan merupakan suatu profesi dan pekerjaan yang berat, bahkan memikul berat keinginan seluruh manusia dalam pemenuhan kebatilan mereka. Manusia selalu mempunyai hasrat untuk tahu apapun. Senada dengan rangkaian kata Hana Wisteria dalam bukunya Bob Sadino: Goblok Pangkal Kaya. “Semakin banyak teori dan informasi yang dikuasai, semakin banyak ia tahu orang, maka semakin pintar pula ia disebut. Wartawan bertugas sebagai penegak tujuan Republik Indonesia, yaitu salah satunya mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Banyak sekali nama wartawan yang mungkin kita kenal baik dahulu maupun sekarang seperti Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, Karni Ilyas, hingga wartawan masa kini seperti Marissa Anita dan Najwa Shihab. Mereka dikenal sebagai wartawan yang memilki cerita serta panggungnya sendiri sehingga mereka terbentuk menjadi seorang wartawan.
Tantangan wartawan kini tentu berbeda dengan tantangan wartawan di tahun 50-an pascakemerdekaan atau 96-an yang terkekang rezim anti kebebasan pers. Wartawan masa kini lebih dihadapkan dengan berbagai perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dalam kewartawanan. Hal itu membuat wartawan harus mampu meningkatkan kapasitasnya dengan lebih baik lagi, tidak hanya mengenai jurnalisme akan tetapi penguasaan teknik dan teknologi dalam peliputan serta penyiaran.
Banyak anggapan bahwa kini semua mampu menjadi seorang wartawan. Dengan bermodalkan ponsel pintar, kini semua masyarakat bisa berusaha membantu negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Citizen journalism kerap disebut sebagai istilah tersebut. Lalu apa yang membedakannya dengan wartawan pada umumnya..?
Wartawan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers disebutkan sebagai orang yang secara teratur melakukan kegiatan jurnalistik dan bekerja di perusahaan pers. Wartawan juga memilki tanggung jawab sosial untuk memenuhi hak masyarakat dalam pemenuhan informasi, menegakkan keadilan dan kesejahteraan, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Andi Setia Gunawan, ia merupakan salah satu wartawan yang ini bekerja di Metro TV sebagai manajer pemberitaan. Ia adalah orang yang menyetujui serta mengatur apa saja yang akan diangkat sebagai berita dan mempertanggung jawabkannya. Ia dikenal pula sebagai satu-satunya wartawan yang mampu mewawancarai tersangka kasus Buloggate di era Gus Dur.
“Setelah wawancara tersebut saya dicari oleh banyak pihak dari pemerintahan, biro hukum, dan banyak lagi bahkan ada saja yang mengintimidasi saya untuk bungkam,” tutur Andi.
Pria yang sudah bergelut dengan dunia kewartawanan selama lebih dari 20 tahun tersebut membuktikan tidak mudahnya bekerja sebagai seorang wartawan yang baik. Ia berujar bahwa wartawan dulu juga merupakan seorang yang haus akan bacaan dan selalu ingin pintar dari siapa pun.
Berbeda dengan wartawan muda masa kini yang membaca koran pun enggan dan terlalu dimanjakan dengan isu-isu yang digemborkan media sosial. Andi juga menambahkan bahwa wartawan masa kini selalu berorientasi pada keinginannya untuk naik layar, baik dalam liputan langsung atau pun siaran di studio.
“Kalau istilah zaman sekarangnya mah wartawan salon,” kata pria berumur 47 tahun tersebut. Andi menambahkan bahwa keberhasilan bagi wartawan dahulu ialah mampu mewawancarai orang yang ingin diwawancarai banyak orang dan mampu membantu mengungkap kasus besar.
Hal serupa juga dituturkan oleh seorang pembawa berita senior Indonesia, Michael Tjandra. Ia menuturkan kekecewaannya pada kebanyakan wartawan masa kini yang membuat patokan bahwa dapat tampil di layar kaca adalah suatu kesuksesan. Selain itu, ia tidak menyukai wartawan yang beranggapan bahwa untuk berada di dalam kamera merupakan suatu hal yang mudah dan instan.
“Mereka tentu tidak tahu bahwa untuk naik layar atau menjadi seorang pembawa berita dibutuhkan perjuangan di lapangan sehingga jadilah wartawan yang tangguh, baik di layar maupun di lapangan,” tutur Michael.
Michael Tjandra juga menyampaikan bahwa problematika kewartawanan Indonesia kini ialah permasalahan idealisme seorang wartawan. Ia sungguh menyayangkan terkadang idealisme tinggi wartawan yang harus kalah oleh pemilik media dengan berbagai kepentingannya seperti politik, ekonomi, dan lainnya. “Idealisme seorang jurnalis bagaimanapun ialah sebagai advokasi, memberikan edukasi, dan kontrol sosial dan idealisme adalah yang menentukan kualitas jurnalis satu dengan lainnya,” katanya.
Dunia kewartawanan memang menarik untuk terus digali, baik cara bekerja, sosok, hingga masalah-masalah yang hinggap di dalamnya. Bagaimanapun itu, wartawan harus terus menjaga apa yang telah dimandatkan oleh masyarakat banyak, yaitu tanggung jawab sosial yang sudah dijelaskan dalam beberapa paragraf sebelumnya. Menjadi wartawan memanglah sulit, dapat disebutkan meliputi pekerjaan yang melelahkan, risiko yang berat hingga kematian, upah tidak sebanding, dan banyak hal pahit lainnya dalam menjadi seorang wartawan.
Saya sendiri sebagai penulis mengutip kata-kata Michael Tjandra yang mungkin cukup menutupi perasaan gundah tersebut, yaitu, “Jurnalis adalah sebuah pengabdian di mana ia harus tahu apa yang ia kejar, apa yang akan ia terima, dan alasan apa yang membuat ingin masuk ke dalamnya. Apabila mengejar keinginan, silakan bekerja sebagai bankir bank.
Apabila mengejar popularitas, silakan menjadi artis. Journalist is journalist, kita membela hak masyarakat untuk tahu dan semua itu berawal dari minat kita sendiri,” ( Penulis Diky Redaktur Publiknews.id )