Publiknews.id, Makassar – Sejumlah Warga Kelurahan Bara-baraya, Kecamatan Makassar, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, terancam digusur. Mereka bingung tanah yang dikuasainya mendadak diklaim seseorang atasnama Moedinoeng Dg. Matika dengan bukti kepemilikan SHM nomor 4.
Sebanyak 28 rumah berdiri diatas tanah itu pun kini cemas dan takut digusur. Tanah dan bangunan yang mereka tempati sejak 1965 tiba-tiba dinyatakan bukan milik mereka melalui serangkaian persidangan hingga menghasilkan putusan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA).
Hasianto Parera salah seorang cucu pemilik Pajak, mengungkapkan, tanah tersebut dikuasai kakeknya pada 1965 atau 59 tahun yang lalu.
Namun, dalam delapan tahun terakhir, sengketa kepemilikan lahan telah bergulir di persidangan Pengadilan hingga menghasilkan putusan yang memenangkan ahli waris Moedinoeng Dg. Matika lewat putusan PK MA.
Sejumlah fakta administrasi seperti bukti pembayaran pajak, bukti pengalihan hak sewa tanah, dan bukti peta blok, tak satupun mengakui jika Moedinoeng Dg Matika dan ahli warisnya sebagai pemilik tanah itu.
Bahkan Hasianto mempertanyakan keabsahan atau legalitas SHM Nomor 4 itu. Sebab kata dia, berdasarkan bukti yang dimiliki keluarganya, salah satu ahli waris Moedinoeng Dg Matika, atasnama Kasian Dg Ratu (istri), tidak mengakui keberadaan SHM Nomor 4 melalui pengakuan pengalihan hak sewa berdasarkan Verponding 2906 sebulan setelah terbitnya SHM Nomor 4 tahun 1965.
“Artinya ahli warisnya saja tidak mengakui SHM itu, padahal SHM nya telah terbit sebulan. Dia (istrinya) tetap mengakui kalau tanah yang tersebut adalah tanah hak sewa dengan mengalihkan hak sewanya ke kakek saya,” ujarnya.
Hasianto juga menemukan bukti lainnya, dimana anak atau ahli waris dari Moedinoeng Dg Matika atasnama Hasnia Dg Ngai, telah melakukan perikatan jual beli sebidang tanah diatas tanah Verponding 2906 pada tahun 1976.
Menurut Hasianto, kedua ahli ahli waris tersebut dengan jelas dimata hukum, tidak mengakui keberadaan SHM Nomor 4 tahun 1965. Mereka berdua tetap meyakini jika sebahagian tanah tersebut berdasarkan alas hak Verponding 2906 yang merupakan tanah sewa.
“Bagaimana bisa pengadilan hingga MA memutuskan jika tanah tersebut milik ahli waris Moedinoeng Dg Matika, sementara beberapa ahli warisnya sendiri tidak mengakui, ini kan lucu,” ujarnya.
Lebih fatalnya lagi menurut Hasianto, Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2016 telah menerbitkan Sertipikat Pengganti atas Sertipikat Nomor 4 tahun 1965. Sayangnya kata dia, penunjuk batas pada sertipikat pengganti tersebut diduga tidak mampu menunjukkan batas-batas tanahnya.
Dia meminta agar seluruh masyarakat yang terdampak putusan PK MA itu, untuk membawa ke Presiden Prabowo guna memastikan apakah putusan oleh tingkat pengadilan masing-masing telah memenuhi unsur kebenaran dan keadilan serta meminta agar Presiden Prabowo melalui menterinya memproses hukum pihak-pihak yang diduga telah mencederai hukum di negara ini.