Publiknews.id – Kasus korupsi Dana Desa kini semakin terlihat bermunculan dan gencar, berdasarkan informasi yang diserap oleh penulis dari pemberitaan media online mainstream, tampaknya telah merajalela di mana-mana. Dengan kata lain, korupsi yang biasanya dilakukan para elite pejabat, nyatanya telah merambah kebawah yakni pengelolaan dana desa. Sasarannya adalah program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Melalui kebijakan dana desa, perekonomian dan kesejahteraan masyarakat diharapkan bisa meningkat. Apalagi alokasi anggaran yang disediakan pemerintah terus bertambah. Tapi, semua itu masih jauh panggang dari api. Berdasarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 8 Tahun 2022 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2023, uang yang diterima pemerintah desa harus digunakan untuk membiayai pelaksanaan program dan kegiatan di bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Di antaranya, pengembangan dan perbaikan infrastruktur, prasarana ekonomi, dan pelayanan sosial dasar. Seperti, pendidikan, kesehatan atau pemberdayaan perempuan dan anak.
Jika digunakan sesuai aturan, cita-cita meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa sejatinya bisa segera terwujud. Namun apa lacur, peningkatan alokasi dana desa ternyata malah diiringi dengan peningkatan korupsi. Berdasar hasil laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), kasus korupsi dana desa pada tahun 2022 ada 155 kasus korupsi dengan melibatkan 252 tersangka. Jumlah itu setara dengan 26,77% dari total kasus korupsi yang ditangani penegak hukum pada 2022 lalu.
Kita lihat dari sisi modus korupsi dana desa umumnya sangat sederhana. Para pelaku masih menggunakan cara-cara lama. Misal, markup proyek, penggelapan, kegiatan atau program fiktif, dan pemotongan anggaran. Modus-modus tersebut tidak memerlukan teknik yang canggih.
Sebagai contoh, program pembangunan dan pengadaan barang. Pelaku menyiasati dengan membuat rencana anggaran biaya yang jauh lebih mahal dibandingkan standar teknis pembangunan. Cara lain, mengurangi volume pekerjaan dan membeli barang yang spesifikasinya lebih rendah dibanding yang ditetapkan dalam rencana anggaran.
Dalam program-program pemberdayaan, modus yang sering digunakan adalah membuat kegiatan-kegiatan fiktif yang ada dalam pertanggungjawaban keuangan, tetapi tidak ada kegiatan atau barangnya. Kalaupun ada kegiatan, jumlah peserta dan durasi waktu riil jauh lebih sedikit dibandingkan dalam laporan pertanggungjawaban.
Ada beberapa faktor yang membuat para pelaku bisa begitu mudah menyelewengkan dana desa.
Pertama, monopoli anggaran. Dominasi penyelenggara desa dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran desa masih sangat besar. Akibatnya, walau mereka memanipulasi, markup, mengubah spesifikasi barang atau menyunat anggaran, tidak akan ada yang tahu dan protes.
Kedua, kemauan dan kemampuan masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan dan pengawasan masih lemah. Banyak yang tidak tahu ada dana desa dan tujuan penggunaannya. Ada pula yang menganggap penyusunan dan pengawasan bukan urusan mereka. Kalaupun ada yang memiliki kemauan, hal itu tidak ditunjang oleh kemampuan untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan ataupun pengawasan, seperti cara-cara menyusun anggaran dan mengawasi pelaksaan proyek.
Ketiga, tekanan struktur. Pelaku korupsi dana desa bukan hanya perangkat desa. Dalam beberapa kasus, perangkat kecamatan pun turut terlibat. Mereka biasanya menggunakan kewenangan memverifikasi anggaran, rencana pembangunan jangka menengah desa dan laporan pertanggungjawaban untuk mendapat setoran atau tanda terima kasih dari penyelenggara desa.
Selain itu, ada pula kasus korupsi dana desa yang terjadi karena faktor teknis. Para penyelenggara desa tidak memiliki rencana melakukan penyelewengan. Mereka terjebak korupsi karena tidak memahami aturan dan prosedur penganggaran ataupun penggunaan anggaran.
Korupsi dana desa menyebabkan hilang atau berkurangnya modal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program yang semestinya bisa menjawab berbagai masalah klasik di desa, seperti infrastruktur yang buruk dan sulitnya akses masyarakat terhadap modal ekonomi, bisa terancam gagal.
Tidak hanya itu, korupsi pun menghambat penguatan demokrasi di desa. Proses demokrasi dalam penganggaran tidak berjalan karena penyelenggara desa menutup ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dan melakukan pengawasan. Lantaran, semakin tertutup, semakin besar ruang mereka untuk melakukan penyimpangan.
Perlunya Penguatan pendampingan
Langkah strategis mencegah agar korupsi tak makin menyebar sangat sederhana, yaitu memperkuat demokrasi dan tata kelola keuangan desa. Proses penyusunan rencana kegiatan dan anggaran dilakukan secara partisipatif sehingga mengakomodasi masalah dan kebutuhan semua pemangku kepentingan desa. Implementasi dan pertanggungjawabannya pun terbuka sehingga semua orang bisa mengawal.
Syarat agar kondisi tersebut terwujud adalah perangkat desa dan masyarakat sama-sama punya pengetahuan dan keterampilan dalam penyusunan rencana program dan anggaran. Pendamping desa bisa menjalankan tugas penting itu. Selama ini, mereka lebih banyak fokus mendampingi perangkat desa. Selain itu, posisi tawarnya pun lemah dan banyak yang hanya berperan sebagai penasihat kepala desa. Pada akhirnya, keberadaan pendamping desa tak jauh beda dengan komite sekolah, hanya jadi tukang stempel kepala sekolah.
Penguatan kapasitas, posisi, dan peran pendamping desa menjadi kebutuhan mendesak. Hal penting lain adalah memperbaiki proses perekrutan dengan menghentikan politisasi dan “jatah-jatahan” pendamping. Seleksi harus mengutamakan kapasitas dan integritas sehingga mereka yang terpilih tidak hanya independen, tetapi juga memiliki kapasitas untuk mendampingi dan menjadi jembatan masyarakat dengan perangkat desa.
Apabila kasus ini terus menerus tidak diantisipasi sesegera mungkin atau tidak ada upaya serius untuk menanganinya, tampaknya bukan peningkatan kesejahteraan yang bakal terwujud. Tapi, pemerataan korupsi hingga pelosok desa. (Dy-WdN)